BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai
penyalur dana kepada Masyarakat, industri perbankan menjalakan usahanya
memberikan kredit kepada nasabah (debitor). Pemberian kredit oleh bank pada
dasarnya harus dilandasi dengan keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
debitor dan masyarakat penyimpanan dana. Hal tersebut wajib dilaksanakan, mengingat
kredit yang di berikan bank mengandung resiko. Untuk itu, diperlukan adanya
jaminan (agunan) yang menyangkut harta benda milik nasabah debitor atau dapat
juga memiliki pihak ketiga yang merupakan jaminan tambahan untuk mengamankan
penyelesaian kredit.
Salah satu hak yang dapat dinilai dengan uang
dan mempunyai nilai ekonomis serta dapat diperalihkan adalah hak atas tanah.
Untuk menjamin pelunasan dari debitur maka hak atas tanah itulah yang digunakan
sebagai jaminannya.
Ketentuan umum dari pemberian jaminan, bahwa
syarat suatu benda dapat dijadikan jaminan hak atas tanah, bahwa benda tersebut
harus memenuhi syarat-syarat antara lain: bahwa benda jaminan tersebut dapat
dinilai dengan uang karena hutang yang dijamin berupa uang, termasuk hak yang
didaftar dalam daftar umum karena harus memenui syarat publisitas, mempunyai sifat
dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji maka benda yang
dijadikan jaminan akan dijual di muka umum, serta memerlukan penunjukan dalam
undang-undang.
Sebagai jaminan kredit tanah mempunyai
kelebihan antara lain adalah harganya yang tidak pernah turun sehingga menjadi
primadona bagi pelaku usaha dan perbankan dalam melakuka transaksi ekonomi.
Undang-Undang Hak Tanggungan yang telah secara
limitatif mengatur mengenai eksekusi terhadap objek jaminan tidak dengan serta
merta menyelesaikan masalah eksekusi terhadap objek jaminan hak tanggungan.
Title Eksekusi yang telah ada masih mengalami berbagai kendala dalam
pelaksanaannya di lapangan.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang dapat diangkat
adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian dan ciri
hak tanggungan?
2.
Apa saja objek hak
tanggungan?
3.
Bagaimana proses
pembebanan hak dan tanggungan?
1.3
TUJUAN
PENULISAN
Adapun
tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui
pengertian
dan ciri hak tanggungan.
2.
Untuk mengetahui
objek
hak tanggungan.
3.
Untuk mengetahui
proses
pembebanan hak dan tanggungan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
PENDAHULUAN
Perusahaan dalam menjalankan kegiatan
ekonomi dan bisnis membutuhkan dana. Semakin besar skala sebuah perusahaan,
semakin besar pula dana yang diperlukan. Sebagian dana biasanya dimiliki sendri
oleh perusahaan sebagai modal usaha. Selebihnya perusahaan biasanya melakukan
pinjaman pada pihak lain melalui suatu perjanjian pinjam meminjam uang atau
perjanjian kredit.
Di pihak lain terdapat juga perusahaan
yang bergerak di bidang penyediaan dana atau pinjaman kepada siapa saja yang
membutuhkannya. Perusahaan semacam ini dinamakan lembaga keuangan, baik berupa
bank maupun bukan bank. Perusahaan demikian merupakan penyedia dana atau
lembaga pembiayaan perusahaan.
Lembaga keuangan biasanya baru bersedia
meminjamkan dana kepada pemohon tersebut apabila cukup tersedia jaminan
terhadap pembayaran kembali dana tersebut oleh pihak peminjam. Begitu penting
masalah jaminan tersebut, sehingga hukum mengaturnya secara rinci di dalam
beberapa perundang-undangan yang mengatur hak jaminan dan hak tanggungan.
Berkaitan dengan penyediaan jaminan
untuk keperluan pelunasan hutang tersebut pengaturannya terdapat di dalam hukum
jaminan. Hukum jaminan mengatur tentang hak jaminan kebendaan meliputi antara
lain hak jaminan terhadap benda bergerak dan hak jaminan terhadap benda tetap.
Hak jaminan terhadap benda bergerak dinamakan gadai (pada) dan hak jaminan terhadap benda tetap dinamakan hak
tanggungan.
2.2.
PENGERTIAN
DAN CIRI HAK TANGGUNGAN
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang
Berkaitan dengan Tanah ditentukan batasan pengertian hak tanggungan adalah “hak
jaminan yang dibebabankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan, kepada kreditur tertentu dari kreditur yang lain.”
Dari pengertian di atas dapat dipahami
bahwa hak tanggungan merupakan bagian dari hak jaminan yang khusus tertuju pada
hak atas tanah. Hak atas tanah tersebut dapat dipahami sebagai satu kesatuan
dengan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah itu (asas vertikal) atau
tanah saja yang terpisah dari
benda-benda lain yang berkaitan dengannya (asas horizontal). Benda-benda lain
tersebut misalnya bangunan, tanaman dan hasil karya tertentu. Dalam
Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) ditegaskan bahwa apabila yang dipakai
adalah asas vertikal tersebut, maka harus dinyatakan dengan tegas di dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Hal lain yang dapat dipetik dari
definisi tersebut bahwa kreditur (pihak yang berpiutang) mendapatkan hak
istimewa terhadap hak atas tanah debitur (pihak yang berhutang) dari
kreditur-kreditur lainnya yang tidak terikat dalam pembebanan hak tanggungan
tersebut dalam pelunasan hutang. Kreditur lainnya baru boleh menikmati hak
atasa tanah tersebut dalam pelunasan hutang debitur, apabila hak kreditur
pemegang hak tanggungan telah terpenuhi. Adanya pemberian kedudukan yang diutamakan
(preferensi) kepada pemegangnya merupakan ciri pertama dari hak tanggungan.
Ciri kedua hak tanggungan adalah bahwa
hak tanggungan tersebut mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun
objek itu berada. Misalnya, tanah objek tersebut dapat saja oleh pemiliknya
dijual kepada orang lain, tetapi penjualan tersebut tidak menghapuskan hak tanggungan yang telah ada
atasnya. Artinya pembeli tanah (pemilik baru) tetap terikat dengan hak tanggungan
tersebut. Apabila suatu ketika kreditur membutuhkannya untuk pelunasan hutang
pemilik semula pada pemegang hak tanggungan.
Ciri ketiga hak tanggungan adalah
terpenuhinya asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Asas spesialitas menunjukkan bahwa objek hak tanggungan tersebut harus cukup
dikenal (jelas) dan asas publisitas artinya masyarakat dimungkinkan untuk
mengetahui adanya pembebanan hak tanggungan tersebut melalui sarana pendaftaran
di badan Pertanian nasional (BPN)
Ciri keempat hak tanggungan adalah mudah
dan pasti pelaksanaan esksekusinya. Berkaitan dengan eksekusi ini, dalam Pasal
20 Undang-Undang Hak Tanggungan ditentukan bahwa apabila debitur warprestasi,
maka pemegang hak tanggungan pertama dapat menjual objek hak tanggungan secara
langsung (parate executie) melalui
pelelangan umum menurut perundang-undangan yang berlaku. Penjualan objek hak
tanggungan dapat juga dilakukan di luar pelelangan umum atas dasar kesepakatan
pemberi dan penerima hak tanggungan, apabila dapat diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan semua pihak. Namun, dalam hal ini harus dipenuhi persyaratan
tertentu yaitu “hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau pemegang hak tanggungan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-sedikitnya dalam 2
(dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan atau media massa
setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan”.
2.3.
OBJEK
HAK TANGGUNGAN
Undang - Undang Hak
Tanggunngan telah menentukan secara terbatas, hak atas tanah apa saja yang
dapat dijadikan objek hak tanggungan, yaitu :
1.
Hak
Milik (HM)
2.
Hak
Guna Usaha (HGU)
3.
Hak
Guna Bangunan ( HGB)
4.
Hak
Pakai (HP) atas guna tanah Negara menurut sifatnya dapat dipindahkan. Hak pakai
atas tanah hak milik baru dibebani hak tanggungan apabila telah ada peraturan
pemerintah yang mengaturnya.
Menurut Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah, dengan mengingat fungsi sosialnnya. Hak milik hanya dapat dimiliki oleh
Warna Negara Indonesia (WNI). Oleh karena itu warga Negara asing tidak boleh
menjadi pemberi hak tannggungan dengan objek hak milik atas tanah. Keistimewaan
hak milik ini tak terbatas waktu.
Hak Guna Usaha
(HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dalam jangka waktu tertentu yang digunakan untuk keperluan pertanian, perikanan,
atau peternakan. Jangka waktu HGU menurut Peraturan Pemerintah Nomer 40 Tahun
1996 tentang hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Negara
adalah paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, dan
setelah itu dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha terbatas pada Warga
Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
Hak Guna
Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu
pemberian Hak Guna Bangunan adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 20 tahun, dan setelah itu dapat diberikan pembaharuan Hak
Guna Bangunan atas tanah yang sama. Subyek Hak Guna Bangunan sama dengan subyek
Hak Guna Usaha di atas.
Hak Pakai (HP)
atas tanah Negara adalah hak untuk mempergunakan atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh negara yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan
dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Jangka waktu
pemberian hak pakai paling lama 25 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang
tidak ditentukan selama tanah digunakan untuk keperluan tertetu.
2.4.
PROSES
PEMBEBANAN HAK DAN TANGGUNGAN
Pertama
pembuatan perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian utang-piutang atau
perjanjian kredit. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian pokok. Perjanjian
pemberian hak tanggunngan lahir karena adanya perjanjian pokok tersebut, karena
itu sering dinamakan perjanjian tambahan. Perjanjian tambahan bergantung pada
perjanjian pokok, artinnya apabila perjanjian pokok dihapus, misalnya debitur
telah membayar lunas hutangnya sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit, maka
perjanjian hak tanggungan juga dihapus.
Tahapan
berikutnya adalah pemberian hak tanggunngan berupa perjanjian jaminan yang
dibuat dalam bentuk Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). PPAT terdiri dari notaris atas pejabat lain (misal: camat) yang
telah diangkat sebagai PPAT.
Tahap terakhir
adalah pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan, yaitu Badan
Pertahanan Nasional (BPN). Hak tanggungan baru lahir setelah tahapan terakhir
ini dilalui.
2.5.
STUDI
KASUS
Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Dijadikan Jaminan Kredit Hak Tanggungan (Studi Kasus : Antara Pt. Bumiloka
Tegarperkasa Dengan Bank Ekonomi Cabang Pluit).
Leo Cahya Tri Saputra
Tanah mempunyai
peranan yang besar dalam dinamika pembangunan. Tanah juga dapat digunakan
sebagai jaminan untuk memperoleh kredit perbankan. Namun dalam kasus ini telah
terjadi peminjaman kredit dengan jaminan sebidang tanah dan bangunan yang
berdasarkan kesepakatan jual beli yang dibuat oleh PT. Bumiloka Tegarperkasa
sebagai pemmbeli dengan PT. Wahana Agung Indonesia sebagai penjual. Kesepakatan
jual beli tersebut dijaminkan untuk peminjaman kredit pada PT. Bank Ekonomi
Cabang Pluit.
Permasalahan dalam
penelitian ini adalah apakah kesepakatan jual beli dapat dijadikan objek hak
tanggungan sebagai jaminan kredit menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan? dan bagaimana status dari perjanjian kredit yang
jaminannya berupa kesepakatan jual beli menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan?
Metode metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Data
penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pembebanan hak
tanggungan, karena berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan, yaitu kesepakatan jual beli tersebut tidak dapat dijadikan
objek hak tanggungan karena pada dasarnya dalam UUHT menyatakan secara jelas
mengenai kriteria objek hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 4 UUHT.
Status perjanjian
kredit antara PT. Bumiloka Tegarperkasa dengan PT. Bank Ekonomi tetap sah
secara hukum karena berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa setiap
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Bank
seharusnya menolak memberikan kredit dengan objek jaminan kredit yang berupa
kesepakatan jual beli karena objek jaminannya tersebut akan menjadikan bank
tidak didahulukan dalam hal pelunasan hutang debitur.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Dari pembahasan kami, kami
mengambil garis lurus bahwa hak tanggungan dan jaminan
telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-Undang, sehingga segala sesuatu hal
menyangkut hal tersebut harus didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku, baik
dalam melakukan perjanjian ataupun pengambilan keputusan apabila ada yang tidak
sesuai.
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan
dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Darman, L. 2003. Proses Kejadian Manusia Menurut Al-Quran. (http://lailizah.tripod.com/proses_kejadian_manusia_menurut_al Quran.html,
diakses tanggal 13 September 2012)
Muchtar, Amin. 2011.
Al Qur’an dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Kajian Usul Fiqih dan
Intisari Ayat. Bandung:
Sygma Examedia Arkanleema.
Nurdin, M., dkk.
1995. Moral dan Kognisi Islam. Bandung:
CV Alfabeta