Selasa, 01 Maret 2016

Hak Jaminan Atau Hak Tanggungan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1             LATAR BELAKANG

Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada Masyarakat, industri perbankan menjalakan usahanya memberikan kredit kepada nasabah (debitor). Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus dilandasi dengan keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor dan masyarakat penyimpanan dana. Hal tersebut wajib dilaksanakan, mengingat kredit yang di berikan bank mengandung resiko. Untuk itu, diperlukan adanya jaminan (agunan) yang menyangkut harta benda milik nasabah debitor atau dapat juga memiliki pihak ketiga yang merupakan jaminan tambahan untuk mengamankan penyelesaian kredit.
Salah satu hak yang dapat dinilai dengan uang dan mempunyai nilai ekonomis serta dapat diperalihkan adalah hak atas tanah. Untuk menjamin pelunasan dari debitur maka hak atas tanah itulah yang digunakan sebagai jaminannya.
Ketentuan umum dari pemberian jaminan, bahwa syarat suatu benda dapat dijadikan jaminan hak atas tanah, bahwa benda tersebut harus memenuhi syarat-syarat antara lain: bahwa benda jaminan tersebut dapat dinilai dengan uang karena hutang yang dijamin berupa uang, termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum karena harus memenui syarat publisitas, mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual di muka umum, serta memerlukan penunjukan dalam undang-undang.
Sebagai jaminan kredit tanah mempunyai kelebihan antara lain adalah harganya yang tidak pernah turun sehingga menjadi primadona bagi pelaku usaha dan perbankan dalam melakuka transaksi ekonomi.

Undang-Undang Hak Tanggungan yang telah secara limitatif mengatur mengenai eksekusi terhadap objek jaminan tidak dengan serta merta menyelesaikan masalah eksekusi terhadap objek jaminan hak tanggungan. Title Eksekusi yang telah ada masih mengalami berbagai kendala dalam pelaksanaannya di lapangan.

1.2             RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang dapat diangkat adalah sebagai berikut :
1.        Apa pengertian dan ciri hak tanggungan?
2.        Apa saja objek hak tanggungan?
3.        Bagaimana proses pembebanan hak dan tanggungan?

1.3             TUJUAN  PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1.         Untuk mengetahui pengertian dan ciri hak tanggungan.
2.         Untuk mengetahui objek hak tanggungan.
3.         Untuk mengetahui proses pembebanan hak dan tanggungan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.           PENDAHULUAN

Perusahaan dalam menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnis membutuhkan dana. Semakin besar skala sebuah perusahaan, semakin besar pula dana yang diperlukan. Sebagian dana biasanya dimiliki sendri oleh perusahaan sebagai modal usaha. Selebihnya perusahaan biasanya melakukan pinjaman pada pihak lain melalui suatu perjanjian pinjam meminjam uang atau perjanjian kredit.
Di pihak lain terdapat juga perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan dana atau pinjaman kepada siapa saja yang membutuhkannya. Perusahaan semacam ini dinamakan lembaga keuangan, baik berupa bank maupun bukan bank. Perusahaan demikian merupakan penyedia dana atau lembaga pembiayaan perusahaan.
Lembaga keuangan biasanya baru bersedia meminjamkan dana kepada pemohon tersebut apabila cukup tersedia jaminan terhadap pembayaran kembali dana tersebut oleh pihak peminjam. Begitu penting masalah jaminan tersebut, sehingga hukum mengaturnya secara rinci di dalam beberapa perundang-undangan yang mengatur hak jaminan dan hak tanggungan.
Berkaitan dengan penyediaan jaminan untuk keperluan pelunasan hutang tersebut pengaturannya terdapat di dalam hukum jaminan. Hukum jaminan mengatur tentang hak jaminan kebendaan meliputi antara lain hak jaminan terhadap benda bergerak dan hak jaminan terhadap benda tetap. Hak jaminan terhadap benda bergerak dinamakan gadai (pada) dan hak jaminan terhadap benda tetap dinamakan hak tanggungan.


2.2.           PENGERTIAN DAN CIRI HAK TANGGUNGAN

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah ditentukan batasan pengertian hak tanggungan adalah “hak jaminan yang dibebabankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan, kepada kreditur tertentu dari kreditur yang lain.”
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa hak tanggungan merupakan bagian dari hak jaminan yang khusus tertuju pada hak atas tanah. Hak atas tanah tersebut dapat dipahami sebagai satu kesatuan dengan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah itu (asas vertikal) atau tanah saja yang terpisah  dari benda-benda lain yang berkaitan dengannya (asas horizontal). Benda-benda lain tersebut misalnya bangunan, tanaman dan hasil karya tertentu. Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) ditegaskan bahwa apabila yang dipakai adalah asas vertikal tersebut, maka harus dinyatakan dengan tegas di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Hal lain yang dapat dipetik dari definisi tersebut bahwa kreditur (pihak yang berpiutang) mendapatkan hak istimewa terhadap hak atas tanah debitur (pihak yang berhutang) dari kreditur-kreditur lainnya yang tidak terikat dalam pembebanan hak tanggungan tersebut dalam pelunasan hutang. Kreditur lainnya baru boleh menikmati hak atasa tanah tersebut dalam pelunasan hutang debitur, apabila hak kreditur pemegang hak tanggungan telah terpenuhi. Adanya pemberian kedudukan yang diutamakan (preferensi) kepada pemegangnya merupakan ciri pertama dari hak tanggungan.
Ciri kedua hak tanggungan adalah bahwa hak tanggungan tersebut mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada. Misalnya, tanah objek tersebut dapat saja oleh pemiliknya dijual kepada orang lain, tetapi penjualan tersebut tidak  menghapuskan hak tanggungan yang telah ada atasnya. Artinya pembeli tanah (pemilik baru) tetap terikat dengan hak tanggungan tersebut. Apabila suatu ketika kreditur membutuhkannya untuk pelunasan hutang pemilik semula pada pemegang hak tanggungan.
Ciri ketiga hak tanggungan adalah terpenuhinya asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Asas spesialitas menunjukkan bahwa objek hak tanggungan tersebut harus cukup dikenal (jelas) dan asas publisitas artinya masyarakat dimungkinkan untuk mengetahui adanya pembebanan hak tanggungan tersebut melalui sarana pendaftaran di badan Pertanian nasional (BPN)
Ciri keempat hak tanggungan adalah mudah dan pasti pelaksanaan esksekusinya. Berkaitan dengan eksekusi ini, dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan ditentukan bahwa apabila debitur warprestasi, maka pemegang hak tanggungan pertama dapat menjual objek hak tanggungan secara langsung (parate executie) melalui pelelangan umum menurut perundang-undangan yang berlaku. Penjualan objek hak tanggungan dapat juga dilakukan di luar pelelangan umum atas dasar kesepakatan pemberi dan penerima hak tanggungan, apabila dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Namun, dalam hal ini harus dipenuhi persyaratan tertentu yaitu “hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan”.



2.3.           OBJEK HAK TANGGUNGAN
Undang - Undang Hak Tanggunngan telah menentukan secara terbatas, hak atas tanah apa saja yang dapat dijadikan objek hak tanggungan, yaitu :
1.                  Hak Milik (HM)
2.                  Hak Guna Usaha (HGU)
3.                  Hak Guna Bangunan ( HGB)
4.                  Hak Pakai (HP) atas guna tanah Negara menurut sifatnya dapat dipindahkan. Hak pakai atas tanah hak milik baru dibebani hak tanggungan apabila telah ada peraturan pemerintah yang mengaturnya.
Menurut Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh  yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosialnnya. Hak milik hanya dapat dimiliki oleh Warna Negara Indonesia (WNI). Oleh karena itu warga Negara asing tidak boleh menjadi pemberi hak tannggungan dengan objek hak milik atas tanah. Keistimewaan hak milik ini tak terbatas waktu.
Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu yang digunakan untuk keperluan pertanian, perikanan, atau peternakan. Jangka waktu HGU menurut Peraturan Pemerintah Nomer 40 Tahun 1996 tentang hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Negara adalah paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, dan setelah itu dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha terbatas pada Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan setelah itu dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan atas tanah yang sama. Subyek Hak Guna Bangunan sama dengan subyek Hak Guna Usaha di atas.
Hak Pakai (HP) atas tanah Negara adalah hak untuk mempergunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Jangka waktu pemberian hak pakai paling lama 25 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanah digunakan untuk keperluan tertetu.

2.4.           PROSES PEMBEBANAN HAK DAN TANGGUNGAN

Pertama pembuatan perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian pokok. Perjanjian pemberian hak tanggunngan lahir karena adanya perjanjian pokok tersebut, karena itu sering dinamakan perjanjian tambahan. Perjanjian tambahan bergantung pada perjanjian pokok, artinnya apabila perjanjian pokok dihapus, misalnya debitur telah membayar lunas hutangnya sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit, maka perjanjian hak tanggungan juga dihapus.
Tahapan berikutnya adalah pemberian hak tanggunngan berupa perjanjian jaminan yang dibuat dalam bentuk Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT terdiri dari notaris atas pejabat lain (misal: camat) yang telah diangkat sebagai PPAT.
Tahap terakhir adalah pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan, yaitu Badan Pertahanan Nasional (BPN). Hak tanggungan baru lahir setelah tahapan terakhir ini dilalui.



2.5.           STUDI KASUS
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Dijadikan Jaminan Kredit Hak Tanggungan (Studi Kasus : Antara Pt. Bumiloka Tegarperkasa Dengan Bank Ekonomi Cabang Pluit).
Leo Cahya Tri Saputra
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan. Tanah juga dapat digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit perbankan. Namun dalam kasus ini telah terjadi peminjaman kredit dengan jaminan sebidang tanah dan bangunan yang berdasarkan kesepakatan jual beli yang dibuat oleh PT. Bumiloka Tegarperkasa sebagai pemmbeli dengan PT. Wahana Agung Indonesia sebagai penjual. Kesepakatan jual beli tersebut dijaminkan untuk peminjaman kredit pada PT. Bank Ekonomi Cabang Pluit.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah kesepakatan jual beli dapat dijadikan objek hak tanggungan sebagai jaminan kredit menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan? dan bagaimana status dari perjanjian kredit yang jaminannya berupa kesepakatan jual beli menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan?
Metode metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Data penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pembebanan hak tanggungan, karena berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yaitu kesepakatan jual beli tersebut tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan karena pada dasarnya dalam UUHT menyatakan secara jelas mengenai kriteria objek hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 4 UUHT.
Status perjanjian kredit antara PT. Bumiloka Tegarperkasa dengan PT. Bank Ekonomi tetap sah secara hukum karena berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.              Bank seharusnya menolak memberikan kredit dengan objek jaminan kredit yang berupa kesepakatan jual beli karena objek jaminannya tersebut akan menjadikan bank tidak didahulukan dalam hal pelunasan hutang debitur.


                                                               















BAB III
PENUTUP

3.1.            Simpulan
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Dari pembahasan kami, kami mengambil garis lurus bahwa hak tanggungan dan jaminan telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-Undang, sehingga segala sesuatu hal menyangkut hal tersebut harus didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku, baik dalam melakukan perjanjian ataupun pengambilan keputusan apabila ada yang tidak sesuai.
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Darman, L. 2003. Proses Kejadian Manusia Menurut Al-Quran. (http://lailizah.tripod.com/proses_kejadian_manusia_menurut_al Quran.html, diakses tanggal  13 September 2012)

Muchtar, Amin. 2011. Al Qur’an dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Kajian Usul Fiqih dan Intisari Ayat. Bandung: Sygma Examedia Arkanleema.

Nurdin, M., dkk. 1995. Moral dan Kognisi Islam. Bandung: CV Alfabeta

Dylaa. 2012. Proses Terjadinya Manusia Menurut Ilmu Pengetahuan. (http://dylaa.wordpress.com/2012/01/09/proses-terjadinya-manusia-menurut-ilmu-pengetahuan.html, diakses tanggal 14 September 2012)

Andri Wijaya, Eko. 2011. Penyebutan Manusia dalam Al Qur’an.

(http://eko-aw.blogspot.com/2012/04/penyebutan-manusia-dalam-al-quran.html, diakses tanggal 14 September 2012)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar